![]() |
Foto : Tasrif Azis, M.Pd |
HabaIngeNdai.Com- Saat pelantikan ketua STKIP Bima, Walikota menyinggung bakal ada perguruan tinggi negeri di Bima. Kalau dirunut ke belakang, wacana ini sebenarnya bukan yang pertama. Lebih dari satu dekade lalu, saat alm H. M. Noer Latif menjadi walikota Bima, wacana pendirian perguruan tinggi negeri di bima sudah terdengar di ruang publik, bahkan nyaring di telinga akademisi. Inisiatornya Walikota. Panitia dibentuk. Belakangan wacana itu hilang bak ditelan bumi. Terhadap wacana yang gagal ini, orang mengaitkannya dengan politik. Sang Wali sengaja mengenduskan wacana itu untuk merangkul 'energi' perguruan tinggi dalam pilkada. Ia menang. Sayapun memilihnya karena wacana tadi.
Berikutnya saat mendiang H. Ferry Zulkarnain menjadi Bupati Bima, kabar pendirian PTN di Bima kembali ramai diruang publik, kali ini otaknya bukan dari pemerintah tetapi dari akademisi. Saat itu saya sempat menyimak paparan mereka di ruang Pandopo Bima. Bupati yang menerima kunjungan itu merasa bangga dan apresiasi niat besar tersebut. Belakangan berita itu tak pernah terdengar lagi.
Terhadap wacana diatas, ada dua asumsi yang muncul.
Pertama, ada yang berpikir bahwa pendirian kampus negeri hanya modus (modal dusta) pemerintah daerah membangun pencitraan bahwa pemerintah seolah-olah serius membangun daerah dan pendidikan, padahal hanya pura-pura saja. Pura-pura punya program. Pikiran ini muncul karena selama ini isu-isu pendidikan hanya dijadikan sebagai alat politik dan kekuasaan. Di depan mata, pemerintah daerah harusnya stay focus dan serius mendorong peningkatan kualitas pendidikan yg inequality terutama jenjang Dikdasmen, profesionalisme guru, pendidikan literasi yg buruk, kedisiplinan dan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagai contoh aspek literasi misalnya Kabupaten Bima termasuk yg paling buruk indeks literasinya bukan seperti yang pernah disampaikan oleh pemerintah daerah selama ini.
Kedua, pendirian kampus negeri merupakan wacana yang autentik dan serius yang lahir dari lubuk hati masyarakat utk menjawab berbagai masalah daerah terutama IPTEK. Serta meminimalisir gelombang brain drain para sarjana yang ke luar daerah karena Bima tidak memiliki perguruan tinggi yang representatif untuk mengembangkan IPTEKnya yang lebih luas dan serius. Sekarang diaspora sarjana atau ilmuwan dari Bima menyebar seantero Indonesia karena Bima tak memiliki perguruan negeri sebagai tempat utk mengabdi dan berkarya. Saya sangat percaya kalau Bima punya kampus negeri, ada banyak ilmuwan hebat yg mau berkiprah di Bima. Oleh karenanya, pendirian kampus negeri sangat strategis untuk membangun daerah.
Tapi, kira kira tahun 2017 lalu Pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan moratorium pembukaan jurusan, pendirian PTS dan PTN baru. Kecuali jurusan yg benar- benar dibutuhkan oleh masyarakat seperti sain-tech-enginer dan mathematics (STEM). Alasannya karena pemerintah ingin fokus memperbaiki kualitas PT yg ada. Di samping itu, pemerintah mendorong PTS agar mau di-negeri-kan, karena dianggap lebih praktis, memberdayakan SDM yang sudah ada .Sekarg saja pemerintah mendorong PTS yg mahasiswanya kurang dari 1.000 agar merger dengan perguruan tinggi lain. Sejak era Jokowi pertumbuhan PTN hasil alih status dari PTS lebih banyak dari yang bener bener baru.
Kalau wacana ini dapat terwujud, maka kehadiran kampus Negeri bisa menjadi "kuburan" bagi perguruan tinggi Swasta yang sedang menggali fondasi trust (trust building) masyarakat apalagi kampus yg "enggan hidup mati tak mau".
Di Bima ada kurang lebih 11 perguruan tinggi swasta yg sedang beroperasi. Keadaan mereka ini gampang digusur oleh kampus Negeri karena berbagai alasan. Keuangan, kualitas dan administrasi.
Kampus di Bima (termasuk sekolah swasta) berbeda dengan sekolah di kota -kota besar seperti Yogya, Bandung, Jkt, Malang dll, di mana kampus Swasta atau sekolah swasta bisa setara kualitasnya bahkan lebih maju dari sekolah negeri. Biaya mahal, kualitas terukur, tenaga profesional, kualifikasi pendidik, fasilitas unggul ,atmosfir dan kultur belajar yang nyaman adalah alasan mereka lebih maju. Wali murid tak ragu berbondong -bondong menyerbu sekolah swasta karena alasan kualitas tadi.
Secara sosiologis kehadiran kampus Negeri di bima akan menekan gelombang urbanisasi pelajar yang hijrah ke kota pelabuhan pendidikan, seperti mataram, Jawa, bali, makassar, Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Back effect wage nya adalah ekonomi daerah akan bertumbuh, industri perbukuan bergerak naik, dunia percetakan akan menggeliat, bisnis akomodasi bertumbuh dgn demikian maka kultur belajar akan mengiringi. Kalau sudah begitu Bima akan berkembang secara inkremental, lalu berdiri sejajar dengan kebudayaan lain yang lebih besar.
Di depan mata, pasar kampus negeri Bima adalah warga Bima dan Dompu. Kecil kemungkinan warga Lombok mau kuliah di Bima, pasalnya Lombok terus berdandan menjadi lebih cantik dan menarik sehingga terus berpacu dengan kemajuan. Kecuali ada fakultas atau jurusan super langka yg hanya tersedia di kampus Bima. Sementara masyarakat Sumbawa bisa win-win situation. Ke Lombok lebih dekat, ke Bima juga bisa. Kalau PTNnya berbasis Islam maka NTT bukan project masa depannya, sebab mereka adalah majoritas umat Kristiani.
Tetapi seberapa besar magnet dan kualitas kampus negeri Bima bisa menghentikan gelombang urbanisasi pelajar ke Kota-kota besar tersebut di atas ??. Ini pertanyaan penting. Pasalnya, wajah glamor dunia perkotaan masih lebih seksi dan menarik ketimbang wajah pas-pasan Bima. Apalagi atmospir belajar di kota besar lebih kondusif dan nyaman, lebih komplit, lebih akademis, bahkan seluruh literasi ilmu pengetahuan tersedia di kota-kota besar ketimbang Bima yg sering dilanda masalah.
Apalagi riwayat kampus -kampus swasta di Bima sering menjadi korban kekerasan gara-gara hal sepele. Yang lebih tragis, kampus juga sering dijadikan sebagai panggung gladiator para mahasiswa bengal. Mahasiswa bengal adalah mahasiswa yang nyaris tak punya akal sehat.
Semua Ini hanya hitung-hitungan statistik sosial di atas kertas, tentu bisa berbeda dlm prakteknya. Namun demikian semua tantangan di atas harus dikelola menjadi peluang emas, apalagi animo pendidikan orang bima yang sangat tinggi. Tetapi apapun itu, tentu saja jawabannya adalah qualitas. Tdk ada ruginya membangun perguruan tinggi sebagai investasi peradaban paling strategis. Investasi peradaban melalui pendidikan memang lama, tapi bonusnya adalah generasi cerdas. Perguruan tinggi bahkan disebut-sebut sebagai pilar peradaban paling sempurna. Kampus negeri ibarat oase besar ditengah dahaga ilmu pengetahuan Bima.
Penulis : Tasrif Azis, M.Pd