![]() |
Foto : Syamsudin, S. H, M. H |
Habaingendai. Com - Setelah diamankan akhir pekan kemarin, sebanyak 15 orang masa aksi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Donggo - Soromandi yang melakukan aksi tuntutan perbaikan jalan raya di Kecamatan Soromandi dan Donggo Kabupaten Bima kini sudah ditetapkan sebagai tersangka. (Sabtu, 03/06/2023)
Informasi yang dihimpun wartawan, usai ditetapkan jadi tersangka, 15 orang demonstran yang didominasi mahasiswa ini langsung dimasukkan sel tahanan Polres Bima untuk dilimpahkan ke Rumah Tahanan (Rutan) Raba Bima dalam beberapa hari ke depan.
Menanggapi penetapan tersangka dan penahanan sejumlah warga yang melakukan aksi demonstrasi ini memunculkan ragam tanggapan publik.
Syamsuddin, S. H, M. H Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima meminta agar Kepolisian lebih mengutamakan pendekatan Restorative Justice dalam menyelesaikan masalah ini, menurutnya pendekatan hukum formal negara dalam menyelesaikan kasus serupa cenderung menimbulkan gejolak sosial dikalangan masyarakat.
Menurutnya, penggunaan restorative justice di anggap lebih tepat, mengandung kebaikan dan kebermanfaatan karena hakikat restorative justice berorientasi pada pemulihan keadaan bukan pembalasan semata.
“Jika dilihat dari motif dan tujuannya, tidak ada yang jahat dalam tindakan mereka justru di apresiasi sebagai wujud kepedulian kepada masyarakat dan lingkungannya meskipun barangkali cara yang tempuh dapat dipersalahkan dari segi hukum” Tegas Syamsuddin
Kepolisian diharapkan dapat bersikap dan bertindak lebih bijaksana dalam mengatasi tuntutan masa aksi guna menghindari gejolak kelompok masyarakat atau guna menghindari benturan dengan kelompok masyarakat setempat. Dilapangan kadang aparat kepolisian tanpa disengaja kerapkali dijadikan alat atas nama hukum dihadap-hadapkan dengan kelompok masyarakat masa aksi, tentu hal semacam ini tidak kita inginkan. Karenanya kepolisian hendaknya menjadikan hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing) dan harmonisasi antara kepentingan Negara dengan masyarakat, bukan alat penertib (ordering) semata dengan mengadalkan tindakan represifitas.
“Harus digunakan pendekatan dialogis dengan mempertemukan kepala daerah dengan masyarakat peserta aksi guna mencari win-win solution. Demikian juga kepala daerah harus cepat tanggap dan responsive terhadap aspirasi masyarakat, bukan justru menghindarinya” Terang Syamsuddin.
Lebih lanjut, Syamsuddin menjelaskan masalah tuntutan perbaikan jalan sudah sering disuarakan masyarakat masyarakat bima, bahkan aksi demonstrasi serupa kerapkali dilakukan diberbagai kecamatan di Bima. Menurutnya aksi-aksi ini menjadi alarm bagi Pemerintah Daerah Propinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Bima, sebab menurutnya terdapat ketentuan pidana bagi penyelenggara jalan yang abai terhadap kerusakan jalan sesuai wewenangnya sebagaimana di atur dalam pasal 273 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 22 tahun 2009 menyebutkan setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dipidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp12 juta.
"Jika mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp24 juta, dan jika hal itu mengakibatkan orang lain meninggal dunia pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau paling banyak Rp120 juta" Tutupnya. (02)