Dogmatisasi Pemahaman Hukum Di KPU, Stigma Negatif Muncul Untuk Pasangan SUKA

Iklan Semua Halaman

Dogmatisasi Pemahaman Hukum Di KPU, Stigma Negatif Muncul Untuk Pasangan SUKA

Senin, 28 September 2020
Oleh Hikmah Hasan S.H., M.H

HabaIngeNdai.Com - Harus dipahami bahwa karakteristik hukum positif Indonesia dalam penerapannya di lapangan, tidak selalu berpegang teguh pada dogmatika atau perintah perundang-undangan. Maka mempelajari dan memahami karakteristik hukum adalah kewajiban bagi kita sebagai masyarakat Indonesia yang menganut sistem negara hukum.


Indonesia menganut sistem negara hukum dan demokrasi. Namun bukan berarti institusi-institusi negara yang berkaitan dengan penegakan hukum serta demokrasi, harus matian-matian membela serta mengikuti prosedural hukum secara ketat dan dogmatis. Sehingga ruang keadilan bagi masyarakat yang ingin menuntut keadilan menjadi tertutup rapat. Oleh karena transformasi dan pemahaman hukum kepada yang menerapkan amatlah kaku dan kekakuan inilah yang menjadi penyebab berhentinya hukum mewujudkan suatu rasa keadilan bersama.


Dogmatisme adalah suatu paham dimana menempatkan sesuatu paham tertentu diatas segala-galanya, tidak dapat diubah apalagi diperdebatkan. Sejalan dengan hal diatas, rupanya prinsip dan pemahaman menjadikan hukum sebagai sesuatu yang dogmatis. Terjadi pada penerapan Undang-undang Pilkada, oleh KPU Kabupaten Dompu. Atas pengajuan keberatan yang diajukan oleh Awan Darmawan, SH, (Advokat) yang mangaku dirinya sebagai masyarakat Dompu.


Awan mempersoalkan mengenai status H. Syaifurrahman Rahman sebagai mantan Narapidana, yang menurutnya H.S belum bisa mencalonkan diri sebagai Bupati, dikarenakan masa jedanya belum mencapai lima tahun sebagaimana diatur oleh PKPU Nomor 1 Tahun 2020 dan SE KPU RI (09/13/2020).


Atas keberatan inilah yang kemudian membuat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dompu, melahirkan suatu keputusan, bahwa pasangan Calon Bupati H. Syaifurrahman Salman dan Ika Rizky Veryani dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS).


Keputusan yang lahir tersebut, sontak membuat para pendukung SUKA yang tidak bisa menerima, dengan beringas, mereka melakukan pemblokiran jalan dan aksi-aksi lainya, yang membuat Kabupaten Dompu memanas, walau kemudian menjadi tenang kembali. Mereka menuntut KPU agar berkerja secara profesional dalam penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Dompu. Mereka menduga KPU telah berkhianat atas keputusan yang keluarkan untuk pasangan calon SUKA.


Meski demikian dituntut, KPU tetap berdalih bahwa semua pekerjaan yang kami lakukan adalah berdasarkan Undang-undang Pemilu Nomor 10 tahun 2016, PKPU Nomor 1 Tahun 2020, Putusan MK, serta berdasarkan Surat KPU RI, bernomor: 735/PL.02.2-SD/06/KPU/IX/2020 tertanggal 5 September 2020.


Dasar hukum inilah yang membuat KPU semakin berdiri tegak, bak tiang baja yang ditancap ditengah lumpur, yang pada suatu waktu dapat membahayakan bagi masyarakat yang ada sekitar tiang baja tersebut. Namun KPU tetap berpinsip bahwa mereka berkarja diatas nama hukum. Akan tetapi menurut saya KPU tidak boleh mengabaikan, bahwa dibalik dogmatisme hukum positif yang berlaku di Indonesia, ada hukum yang hidup didalam masyarakat (living Law) yang harus diperhatikan.


Sebagai contoh, Masyarakat pendukungnya masih tetap menginginkan SUKA menjadi pasangan calon bupati. Mereka telah mengajukan gugatan ke Bawaslu, mereka tidak terima atas keputusan KPU dan mereka sangat yakin bahwa pasangan SUKA lah yang terbaik untuk mereka pilih menjadi seorang bupati. Meskipun yang menjadi Idolanya tersebut, sempat mendekam dipenjara, namun bagi mereka itu bukanlah persoalan yang perlu peributkan, karena mereka begitu optimis bahwa pasangan SUKA harus mengikuti pentas Pilkada Kabupaten Dompu.


Penjelasan di atas merupakan contoh dari wujud karakteristik hukum yang hidup itu sendiri, meski “hukum positif menjatuhkan vonis terhadap suatu perbuatan seseorang yang melakukan kesalahan, akan tetapi kalau masyarakatnya menganggap itu bukan persoalan yang harus dibawah keranah hukum, maka hukum positif harus tunduk kepada keputusan yang dilahirkan oleh masyarakat itu sendiri”.


Selain hal tersebut, ada dikhawatirkan kita terhadap masa depan para mantan narapidana, kita harus belajar dari kasus-kasus sebelumnya, karena hal yang mustahil jika stigma negatif terhadap pasangan calon SUKA tidak muncul pada permukaan dan akan menjadi makanan empuk bagi para politikus jahat untuk mempermainkan isu-isu busuk untuk SUKA dan tidak hanya untuk SUKA, ini juga akan berpengaruh pada mantan narapidana secara umum. Akibat dari stigmatisasi tersebut. “Bahwa seorang mantan narapidana tidak layak mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin.


Padahal secara Hukum dan Demokrasi di Indonesia (khususnya dalam hukum pidana) tidak mengenal stigmatisasi Negatif terhadap siapapun masyarakat yang bermasalah dengan hukum. Misal ketika ada seorang yang melanggar hukum (melakukan tindakan mencuri) dan di vonis hakim masuk penjara. Setelah menjalani hukuman, maka setiap seorang yang sudah dibina Oleh Lembaga Permasyarakatan akan kembali menjadi masyarakat seperti biasa. Selengkapnya baca (Baca UU Permasyarakatan).


Menurut saya KPU Dompu dan masyarakat perlu berbenah diri dan perlu kehati-hatian dalam malahirkan suatu kesimpulan yang berkaitan syarat-syarat Pilkada, agar tidak melahirkan suatu kesalahpahaman didalam masyarakat umum itu sendiri. Apalagi keputusan yang mengTMS kan pasangan SUKA tersebut baru dikeluarkan berdekatan dengan pengundian nomor urut dan tentu saja hal ini membuat orang heran dan manaruh curiga terhadap apa yang dilakukan oleh KPU Dompu.(026)